Teori Perkembangan Kepribadian, Sosial, dan Moral
(Kisi-kisi UKG 2015 no. 1.1.1)
(Kisi-kisi UKG 2015 no. 1.1.1)
A. Pengertian
Teori Perkembangan Kepribadian, Sosial dan Moral
Kepribadian adalah bagian dari jiwa
yang membangun keberadaaan manusia menjadi satu kesatuan, tidak terpecah-pecah
dalam fungsi-fungsi. Memahami kepribadian berarti memahami aku, diri, self atau
memahami manusia seutuhnya. Hal terpenting yang harus diketahui berkaitan
dengan pemahaman kepribadian adalah bahwa pemahaman itu sangat dipengaruhi
paradigma yang dipakai sebagai acuan untuk mengembangkan teori itu sendiri.
Para ahli kepribadian ternyata meyakini paradigma yang berbeda-beda, yang
mempengaruhi secara sistematik seluruh pola pemikirannya tentang kepribadian
manusia. Paradigma itu pada sebagian ahli kepribadian dikemukakan dengan tegas,
pada sebagian yang lain paradigmanya tersamar dan dikenali melalui metode
analisisnya (Alwisol, 2007).
Perkembangan ini berlangsung sejak
masa bayi hingga akhir hayat. Perkembangan merupakan suatu proses pembentukan
social self (pribadi dalam masyarakat), yakni pembentukan pribadi dalam
keluarga, bangsa dan budaya. Perkembangan sosial hampir dapat dipastikan
merupakan perkembangan moral, sebab perilaku moral pada umumnya merupakan unsur
fundamental dalam bertingkah laku sosial. Seorang siswa hanya akan berperilaku
sosial tertentu secara memadahi apabila menguasai pemikiran norma perilaku
moral yang diperlukan untuk menguasai pemikiran norma perilaku moral yang
diperlukan.
Seperti dalam proses perkembangan
yang lannya, proses perkembangan sosial dan moral selalu berkaitan dengan
proses belajar. Konsekuensinya, kualitas hasil perkembangan sosial sangat
bergantung pada kualitas proses belajar (khususnya belajar sosial), baik
dilingkungan sekolah, keluarga, maupun di lingkungan masyarakat. Hal ini
bermakna bahwa proses belajar sangat menentukan kemampuan siswa dalam bersikap
dan berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral, agama, moral tradisi,
moral hukum, dan norma moral yangberlaku dalam masyarakat.
Dalam dunia psikologi belajar
terdapat aneka ragam mazhab (aliran pemikiran) yang berhubungan dengan
perkembangan moral. Diantara ragam mazhab perkembangan sosial ini paling
menonjol dan layak dijadikan rujukan adalah:
- Aliran teori Cognitive Psychology dengan tokoh utama Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg.
- Aliran teori Social Learning dengan tokoh utama Albert. Bandura dan R.H Walters.
Pada tokoh-tokoh psikologi tersebut
telah banyak melakukan penelitia yang mana pada penelitiannya setiap tahapan
perkembangan sosial anak selalu dihubungkan dengan perkembangan perilaku moral
yaitu perilaku baik dan buruk menurut norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat. Salah satu teori perkembangan moral adalah teori menurut Kohlberg.
Perkembangan sosial dengan
perkembangan moral merupakan dua hal yang saling berkaitan. Muhibbin Syah
(2010; 75) memberikan pandangannya tentang keterkaitan tersebut bahwa perilaku
moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial.
Misalnya, seorang siswa hanya akan mampu berperilaku sosial tertentu secara
memadai apabila menguasai pemikiran norma perilaku moral yang diperlukan untuk
situasi sosial tersebut.
Perkembangan moral yang berhasil
dapat dilihat dari perilaku moral, sedangkan yang gagal dilihat dari perilaku
amoral dan perilaku tidak bermoral. Perilaku moral adalah perilaku yang sesuai
dengan harapan masyarakat atau sosial yang berkaitan dengan tata cara,
kebiasaan atau adat-istiadat. Perilaku moral adalah perilaku yang tidak sesuai
dengan harapan masyarakat disebabkan karena acuh atau tidak memahami aturan
masyarakat. Sedangkan perilaku tidak bermoral adalah tingkah laku yang tidak
sesuai dengan harapan masyarakat sebagai akibat dari ketidaksetujuannya
terhadap aturan masyarakat atau bentuk protes terhadap masyarakat (sengaja
melanggar).
B. Tokoh
Teori Perkembangan Kepribadian, Sosial dan Moral
- Tokoh Teori Perkembangan Kepribadian
1.
Sigmund Freud
Freud adalah teoritisi pertama yang
memusatkan perhatiannya kepada perkembangn kepribadian dan menekankan
pentingnya peran masa bayi dan awal-anak dalam membentuk karakter seseorang.
Freud yakin bahwa struktur dasar kepribadian sudah terbentuk pada usia 5 tahun
dan perkembangan kepribadian sesudah usia 5 tahun sebagian besar hanya merupakn
elborasi dari struktur dasar tadi. Anehnya, Freud jarang sekali meneliti anak
secara langsung. Dia mendasari teorinya dari analisis mengeksplorasi jiwa
pasien antara lain dengan mengembalikan mereka ke pengalaman masa
kanak-kanaknya.
Freud membagi perkembangan
kepribadian menjadi 3 tahapan yakni tahap infatil (0 – 5 tahun), tahap laten (5
– 12 than) dan tahap genital (> 12 tahun). Tahap infatil yang faling
menentukan dalam membentuk kepribadin, terbagi menjadi 3 fase, yakni fase oral,
fase anal, dan fase falis. Perkembangan kepribadian ditentukan oleh
perkembangan insting seks, yang terkait dengan perkembangan bilogis, sehingga
tahp ini disebut juga tahap seksual infatil. Perkembangan insting seks berarti
perubahan kateksis seks dan perkembangan bilogis menyiapkan bagian tubuh untuk
dipilh menjadi pusat kepuasan seksul (arogenus zone). Pemberian nama fase-fase
perkembangan infatil sesuai dengan bagian tubuh daerah erogen-yang menjadi
kateksis seksual pada fase itu. Pada tahap laten, impuls seksual mengalami
represi, perhatian anak banyak tercurah kepada pengembangan kognitif dan
keterampilan. Baru sesudah itu, secara bilogis terjadi perkembangan puberts
yang membangunkan impuls seksual dari represinya untuk berkembang mencapai
kemasakan. Pada umumnya kemasakan kepribadian dapat dicapi pada usia 20 tahun
(Anonim, 2010).
2. Carl Gustav
Jung
Perkembangan kepribadian menurut
pandangan Carl Gustav Jung lebih lengkap dibandingkan dengan Freud. Jung
beranggapan bahwa semua peristiwa disebabkan oleh sesuatu yang terjadi di masa
lalu (mekanistik) dan kejadian sekarang ditentukan oleh tujuan (purpose).
Prinsip mekanistik akan membuat manusia menjadi sengsara karena terpenjara oleh
masa lalu. Manusia tidak bebas menentukan tujuan atau membuat rencana karena
masa lalu tidak dapat diubah. Sebaliknya, prinsip purposif memubat orang
mempunyai perasan penuh harapan, ada sesuatu yang membuat orang berjuang dan
bekerja. Dari keduanya dapat diambil sisi positifnya, kegagalan di masa lalu
bukan dijadikan beban tapi dijadikan pengalaman yang kemudian digunakan sebagai
stimuli untuk belajar lebih baik dari kegagalan tersebut. Terlepas dari
kegagalan seseorang harus memiliki angan, impian dan harapan, hal inilah yang
kemudian mengarahkan pada tujuan yang akan diraih di masa mendatang.
Tahap-tahap perkembangan menurut
Jung terdiri atas 4 tahap. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Usia anak (Childhood). Usia anak dibagi menjadi 3 tahap, yakni anarkis pada anak kesadaran masaih kacau pada usia 0-6 tahun, tahap monarkis yakni anak ditandai dengan perkembangan ego, mulai berfikir verbal dan logika pada usia 6-8 tahun, tahap dualistik yakni anak dapat berfikir secara obyektif dan subyektif terjadi pada usia 8-12 tahun.
- Usia Pemuda. Pemuda berjuang untuk mandiri secara fisik dan psikis dari orang tuanya.
- Usia Pertengahan. Ditandai dengan aktualisasi diri, biasanya sudah dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, memiliki pekerjaan, kawin, punya anak dan ikut dalam kegiatan sosial.
- Usia Tua. Fungsi jiwa sebagian besar bekerja secara tak sadar, fikiran dan kesadaran ego mulai tenggelam (Anonim, 2010).
3.
Erik H. Erikson
Teori Erikson dikatakan sebagai
salah satu teori yang sangat selektif karena didasarkan pada tiga alasan. Alasan
yang pertama, karena teorinya sangat representatif dikarenakan memiliki
kaitan atau hubungan dengan ego yang merupakan salah satu aspek yang mendekati
kepribadian manusia. Kedua, menekankan pada pentingnya perubahan yang
terjadi pada setiap tahap perkembangan dalam lingkaran kehidupan, dan yang ketiga/terakhir
adalah menggambarkan secara eksplisit mengenai usahanya dalam mengabungkan
pengertian klinik dengan sosial dan latar belakang yang dapat memberikan
kekuatan/kemajuan dalam perkembangan kepribadian didalam sebuah lingkungan.
Melalui teorinya Erikson memberikan
sesuatu yang baru dalam mempelajari mengenai perilaku manusia dan merupakan
suatu pemikiran yang sangat maju guna memahami persoalan/masalah psikologi yang
dihadapi oleh manusia pada jaman modern seperti ini. Oleh karena itu,
teori Erikson banyak digunakan untuk menjelaskan kasus atau hasil penelitian
yang terkait dengan tahap perkembangan, baik anak, dewasa, maupun lansia.
Erikson dalam membentuk teorinya
secara baik, sangat berkaitan erat dengan kehidupan pribadinya dalam hal ini
mengenai pertumbuhan egonya. Erikson berpendapat bahwa pandangan-pandangannya
sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis yang diletakkan oleh Freud. Jadi dapat
dikatakan bahwa Erikson adalah seorang post-freudian atau neofreudian. Akan
tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan kebudayaan. Hal ini
terjadi karena dia adalah seorang ilmuwan yang punya ketertarikan terhadap
antropologis yang sangat besar, bahkan dia sering meminggirkan masalah insting
dan alam bawah sadar. Oleh sebab itu, maka di satu pihak ia menerima konsep
struktur mental Freud, dan di lain pihak menambahkan dimensi sosial-psikologis
pada konsep dinamika dan perkembangan kepribadian yang diajukan oleh Freud.
Bagi Erikson, dinamika kepribadian
selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan
pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial. Tampak dengan jelas bahwa
yang dimaksudkan dengan psikososial apabila istilah ini dipakai dalam kaitannya
dengan perkembangan. Secara khusus hal ini berarti bahwa tahap-tahap kehidupan
seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang
berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang secara fisik dan
psikologis. Sedangkan konsep perkembangan yang diajukan dalam teori
psikoseksual yang menyangkut tiga tahap yaitu oral, anal, dan genital,
diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian rupa sehingga dimasukkannya
cara-cara dalam mana hubungan sosial individu terbentuk dan sekaligus dibentuk
oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap tahapnya.
Pusat dari teori Erikson mengenai
perkembangan ego ialah sebuah asumpsi mengenai perkembangan setiap manusia yang
merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan secara universal dalam kehidupan
setiap manusia. Proses yang terjadi dalam setiap tahap yang telah disusun
sangat berpengaruh terhadap “Epigenetic Principle” yang sudah
dewasa/matang. Dengan kata lain, Erikson mengemukakan persepsinya pada saat itu
bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip epigenetik. Di mana Erikson
dalam teorinya mengatakan melalui sebuah rangkaian kata yaitu: (1) Pada
dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami keserasian
dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap individu
dapat dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk saling
mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas. (2) Masyarakat, pada
prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat setiap
individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan berusaha
menjaga serta untuk mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan di
dalam tahap-tahap yang ada (Mariani, 2008).
Tokoh Teori Perkembangan Sosial dan
Moral
1.
Teori Perkembangan Moral Menurut Kohlberg
Menurut teori Kohlberg telah menekankan
bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan
berkembang secara bertahap. Dalam Teori Kohlberg mendasarkan teori perkembangan
moral pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan Piaget. Menurut Kohlberg sampai
pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan
anak-anak. Dalam wawancara , anak-anak diberi serangkaian cerita dimana
tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Berikut ini ialah dilema
Kohlberg yang paling populer:
” Di Eropa seorang perempuan hampir
meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat yang menurut dokter dapat
menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini
ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini
sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X lebih mahal dari
biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar $ 200
dan menjualnya $2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang
ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000 atau
hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang
sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau
membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata
”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.”
Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi
istrinya.”
Cerita ini adalah salah satu dari 11
cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk menginvestigasi hakekat pemikiran
moral. Setelah membaca cerita, anak-anak yang menjadi responden menjawab
serangkaian pertanyaan tentang dilema moral. Haruskah Heinz mencuri obat?
Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah? Pataskah suami yang baik itu
mencuri? Dll. Berdasarkan penalaran-penalaran yang diberikan oleh responden
dalam merespon dilema moral ini dan dilema moral lain. Dengan adanya cerita di
atas menurut Kohlberg menyimpulkan terdapat 3 tingkat perkembangan moral, yang
masing-masing ditandai oleh 2 tahap.
Konsep kunci untuk memahami
perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg , ialah internalisasi yakni
perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi
perilaku yang dikendalikan secara internal.
Teori Perkembangan moral dalam
psikologi umum menurut Kohlberg terdapat 3 tingkat dan 6 tahap pada
masing-masing tingkat terdapat 2 tahap diantaranya sebagai berikut:
Tingkat Satu: Penalaran
Prakonvensional
Penalaran Prakonvensional adalah :
tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada
tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral-
penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal.
Dengan kata lain aturan dikontrol oleh orang lain (eksternal) dan tingkah laku
yang baik akan mendapat hadiah dan tingkah laku yang buruk mendapatkan hukuman.
Tahap I. Orientasi hukuman dan
ketaatan
Yaitu: tahap pertama yang mana pada
tahap ini penalaran moral didasarkan atas hukuman dan anak taat karena orang
dewasa menuntut mereka untuk taat.
Tahap II. Individualisme dan tujuan
Pada tahap ini penalaran moral
didasarkan atas imbalan (hadiah)dan kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila
mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah
taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap
menghasilkan hadiah.
Tingkat Dua : Penalaran Konvensional
Penalaran Konvensional merupakan
suatu tingkat internalisasi individual menengah dimana seseorang tersebut
menaati stándar-stándar (Internal)tertentu, tetapi mereka tidak menaati
stándar-stándar orang lain (eksternal)seperti orang tua atau aturan-aturan
masyarakat.
Tahap III. Norma-norma Interpersonal
Yaitu: dimana seseorang menghargai
kebenaran, keperdulian dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan
pertimbangan-pertimbangan moral. Seorang anak mengharapkan dihargai oleh orang
tuanya sebagai yang terbaik.
Tingkat IV. Moralitas Sistem Sosial
Yaitu: dimana suatu pertimbangan itu
didasarkan atas pemahaman atuyran sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.
Tingkat Tiga: Penalaran
Pascakonvensional
Yaitu: Suatu pemikiran tingkat
tinggi dimana moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan
pada standar-standar orang lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral
alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan
suatu kode.
Tahap V. Hak-hak masyarakat versus
hak-hak individual
Yaitu: nilai-nilai dan aturan-aturan
adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke
orang lain.
Tahap VI. Prinsip-prinsip Etis
Universal
Yaitu: seseorang telah mengembangkan
suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia universal. Dalam
artian bila sseorang itu menghadapi konflik antara hukum dan suara hati,
seseorang akan mengikuti suara hati (Rofiah, 2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar